Update 26 April 2018
12 April 2016 Ivan A saputra Jantung Kota
Foto: Lentera SL
Bandarlampung (Lentera SL): Merasa kecewa dengan keputusan gubernur yang mengusulkan untuk memprioritaskan eks anggota PNPM menjadi pendamping desa, puluhan massa yang tergabung dalam Jaringan Komunikasi Wilayah Pendamping Pekon (Jokowi PP) dan Aliansi Pemuda Peduli Desa (APPD) ‘menyatroni’ kantor Gubernur Lampung, Selasa (12/4).
Kehadiran massa yang membawa poster dan spanduk dengan berbagai tulisan tersebut, juga untuk menyampaikan aspirasi tentang rasa kecewa mereka terhadap Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Provinsi Lampung, perihal surat yang ditandatangani Sekretaris Badan, Sifa Aini, tertanggal 6 April 2016 dengan nomor 4113/280UPPM/II.09/2016.
Koordinator Aksi, Aryadi Ahmad mengatakan, sikap gubernur dengan mengeluarkan surat usulan tersebut merupakan tindakan diskriminatif, melukai hati, dan memupuskan harapan masyarakat Lampung yang seharusnya memiliki hak sama untuk dapat mengikuti seleksi terbuka pendamping desa, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Desa.
“Hal serupa dilakukan pihak BPMPD Provinsi Lampung, sebab surat tertanggal 6 April 2016 kemarin bernada provokatif, seakan-akan telah terjadi kerusuhan antara pendamping desa hasil rekrutmen 2015 dengan eks anggota PNPM di Lampung. Sikap tersebut tentu bukan sikap yang konstruktif dan tidak sejalan dengan konsep Nawa Cita Pemerintah Pusat,” kata Aryadi.
Ia menuturkan, semangat UU Desa yang sejalan dengan Nawa Cita yaitu sebagai upaya menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia. Tapi hal itu justru dicederai dengan sekelompok orang yang menuntut perlakukan istimewa (kontrak tanpa tes). “Padahal jelas dalam UU Desa No.6 Tahun 2014, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti seleksi terbuka dalam program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa (P3MD),” ungkapnya.
Menurut Aryadi, pendamping desa tidak boleh dilaksanakan dan dikendalikan secara sentralistik dari pusat ke daerah, namun harus terdesentralisasi dan teralokasi di kabupaten, kecamatan dan desa. “Pendampingan juga tidak boleh membentuk struktur paralel seperti yang selama ini dijalankan oleh PNPM. Sebab dalam hal ini mereka telah mengikuti seleksi rekrutmen, bukan sebagai pengelola proyek pembangunan yang ada di desa. Kerja pendamping desa difokuskan dalam rangka mengawal, memberikan pembelajaran, membangun sumberdaya manusia, serta pemberdayaan masyarakat desa melalui proses belajar sosial serta musyawarah mufakat,” jelas Aryadi.
Beranjak dari poin-poin tersebut, lanjut dia, pihaknya menuntut agar BPMPD Provinsi Lampung bersikap profesional dalam mengejawantahkan amanat UU Desa No.6 Tahun 2014. Kemudian tidak ada yang diistimewakan dalam proses rekrutmen pendamping desa pelaku P3MD. Semua harus melalui seleksi terbuka, artinya seluruh masyarakat yang memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama.
“Kepala daerah dalam hal ini gubernur dan bupati juga jangan sampai mengangkangi UU Desa, dengan ikut intervensi dalam proses rekrutmen pendamping desa yang terbuka bagi seluruh warga masyarakat,” tutupnya. (Reci)