Update 25 Februari 2021
09 November 2017 Ivan A saputra CELOTEH
Hendri Std
Aku adalah apa yang aku baca. Ungkapan ini tidaklah terlalu berlebihan untuk menjelaskan betapa besarnya peran bahan bacaan dalam turut membentuk pola pikir dan karakter individu.
Ibarat gelas diisi susu, maka disebutlah sebagai segelas susu. Dan ketika cangkir dituangkan kopi, maka disebutlah secangkir kopi. Seakan identitas gelas dan cangkir itu teramat bergantung pada apa yang dimasukkan ke dalamnya.
Demikian pula bilik kanan-kiri otak yang sangat berharap akan asupan informasi yang dikirim kepadanya. Asupan informasi itulah yang kemudian dicerna dan diterjemahkan sesuai kapasitas kemampuan otak kita. Proses itu lantas terformulasi dalam semacam reaksi yang nantinya diinterpretasikan oleh gerak sekujur tubuh. Bukankah segala perintah bersumber dari otak?
Aktivitas yang berlangsung terus menerus tadi akan mengendapkan berbagai saripati di tiap bilik otak kita. Jika saripatinya baik, tentu baik pula endapan yang melekat di benak. Sebaliknya, kalau melulu informasi sampah yang disumpalkan ke dalam pikiran, maka kerak limbah pula yang mengendap di sekat-sekat otak. Lalu jenis asupan macam apa yang telah senantiasa dijejalkan ke kepala kita?
Tak perlu heran bila tiba-tiba kita mendapati begitu sulit memahami suatu fakta atau peristiwa, sementara ada orang lain yang teramat mudah menelaah apa-apa yang tengah terjadi di sekitarnya, serta memikirkan langkah apa yang mesti diambil untuk menyikapi keadaan itu. Kejituan berpikir dan bertindak itu tiada lain merupakan peran endapan saripati baik, yang ibarat asupan gizi telah membantu bilik di otak kita untuk cepat berproses menciptakan formulasi reaksi.
Layaknya makanan yang bisa dibedakan bergizi atau tidak, asupan informasi yang dikirim ke otak pun bisa dipilah-pilih. Tergantung kita seleranya mengonsumsi yang mana. Adalah jelas ketika di bangku sekolah dan kuliah, kita selalu dibawa ke situasi untuk mengunyah informasi bergizi. Kita kerap digiring agar senantiasa berinteraksi dengan buku.
Celakanya, situasi mengonsumsi informasi bergizi itu tidak terpelihara. Tak pelak urusan bercumbu atau berasyik masyuk dengan bahan bacaan hanya berhenti sampai dinding kelas atau gerbang kampus belaka. Lepas dari batasan itu say goodbay pada buku-buku.
Keengganan terhadap literasi (keberaksaraan atau kemampuan membaca dan menulis) ini, tanpa disadari telah memiskinkan otak kita sampai pada kondisi 'gizi buruk'. Sekaligus memiskinkan kehidupan kita, lantaran ketidakmampuan otak memformulasikan sebentuk perintah solutif pada sekujur anggota tubuh pada saat dibenturkan ke dinding persoalan. Otak kita cepat buntu!
Ketika otak dan nalar atau logika tak lagi mampu diajak bekerja (berpikir cerdas) atau lekas tumpul, maka spontanitas berikutnya adalah mengandalkan otot untuk sekadar mempertahankan eksistensi kehidupan. Maka identitas kita pun serta merta menjadi 'buruh' yang seumur hidup bergantung pada kekuatan otot. Sialnya lagi, tak jarang identitas itu diwariskan kepada keturunan, sebagai mata rantai kemiskinan yang tak terputus dan malah diestapetkan.
Pikiran yang murung dan kehidupan yang suram itu berseberangan dengan keelokan pikiran dan indahnya kehidupan orang-orang yang menyadari akan pentingnya 'bersenggama' dengan literasi. Tak pelak kalangan yang gemar membaca senantiasa mengejawantah menjadi individu yang memiliki kemampuan dalam memahami dan mengolah informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.
Tengoklah tutur kata mereka yang tertata. Liriklah gaya hidup mereka yang memiliki cita rasa (bukan berarti selalu bergelimang keglamoran). Dan hiruplah aroma tubuhnya yang selalu meruapkan aura positif. Maka tak berlebihan pula tatkala orang-orang di negeri Paman Sam berujar 'smart is sexy'. Karena kecerdasan itu memang indah, dan seksi tak selalu berkonotasi erotis.
Pemikiran cerdas memang sepadan disebut seksi. Lantas seseksi apakah pikiranmu? Karena aku adalah apa yang aku baca. (Hendri Std)