Update 25 Februari 2021
04 Oktober 2017 Ivan A saputra CELOTEH
Judul 'celoteh' kali ini bukan sedang menggambarkan nasib sial penonton dangdut yang usai berduet bareng biduan lalu ke-GR-an (gede rasa), lantas menganggap si biduan sudah kepincut dengannya. Saking 'bapernya' si penonton yang kebablasan girang itu bernasib sial digelandang turun panggung oleh panitia.
Andai kejadian itu nyata adanya tentu akan menjadi tontonan menarik. Tapi sayangnya itu hanya perumpamaan, karena realita tragis tersebut justru berlangsung di panggung politik. Disebut tragis ya karena memang ceritanya mengenaskan. Kisahnya tentang seorang politikus yang baru 'kemarin sore' menjajal pentas politik, lalu bergegas mencari panggung untuk tampil menjadi pemimpin daerah.
Entah keyakinan apa yang mendorongnya demikian antusias untuk menceburkan diri ke gelanggang kompetisi. Padahal bila mengingat jam terbangnya di percaturan politik masih sangat minim. Riskan memang, tapi nyatanya partai politik yang dikendarainya telah mengusungnya, kendati sempat terbetik ribut-ribut penolakan di kalangan internal partai tersebut.
Terdengar pula selentingan di luaran bahwa yang bersangkutan pede maju ikut pilkada lantaran disokong oleh cukong berkantung tebal. Benar tidaknya info itu namanya juga kabar burung yang bisa membawa pesan bohong tapi tidak menutup kemungkinan membawa kebenaran. Bukankah ranah politik memang tempat berseliwerannya kabar burung yang menjadi bagian dari intrik politik itu sendiri?
Kembali lagi ke nasib tragis politikus (yang sejauh ini belum terlihat keulungannya itu) karena merasa posisinya belum aman untuk bisa sampai ke pintu pendaftaran di KPU kelak, ia kini rajin bergerilya kesana-kemari mencari dukungan partai tambahan. Berbagai cara pun ditempuh, termasuk menggandeng politikus dari partai politik lain untuk berdendang bersama di pentas musik. Untuk sesaat usahanya itu agaknya cukup mendatangkan angin segar. Karena usai berduet bersama pembesar salah satu partai yang sedang dibidiknya, keesokan harinya berbagai media ramai mengabarkan penampilan kedua politikus tersebut.
Malah ada pemberitaan yang menyebut keduanya tinggal selangkah lagi melenggang bersama ke kancah pilkada. Kalau ini sampai terjadi, maka amanlah posisi si politikus pencari dukungan itu. Sebab mengingat politikus yang diajaknya bernyanyi di panggung memang memiliki power besar di partainya. Sangat mungkin kalau dia berhasil digandeng maka dukungan partainya pun dapat sekaligus diboyong alias satu paket, beli satu dapat dua.
Namun seperti sudah disebutkan tadi ada cerita tragis dibalik kejadian ini, ternyata angin segar itu tak ubahnya seperti angin semilir saja. Yang melintas sejenak untuk kemudian berlalu begitu saja. Sebab, selang hanya dalam hitungan beberapa hari saja, partai yang sedang dilirik lewat 'lobian bernyanyi sepanggung' tersebut, justru mengumumkan dukungan partainya ke kandidat lain. Peristiwa ini hampir tidak ubahnya sedang memutar lagu di audio sistem. Kelar dengan satu lagu, dilanjutkan dengan lagu lainnya. Lagu sebelumnya sekadar dianggap pengisi waktu belaka.
Menanggapi peristiwa itu mendadak ramai komentar berseliweran di tengah publik. Intinya pada geleng-geleng kepala. Meski dunia politik penuh intrik namun kejadian berdendang sepanggung itu tetap saja miris, terlebih dibumbui berita yang dihiasai nuansa keyakinan penuh. Padahal rumusan di politik tidak boleh terlalu yakin pada satu komitmen sekalipun. Mungkin ini efek dari kurangnya jam terbang si politkus karbitan yang memaksakan diri untuk matang sebelum waktunya. Atau mungkin juga alam telah mengirim pesan untuk jangan selalu mengikuti syahwat politik. (Std)